- Pemkab Tanjab Barat Komitmen dalam pelestarian bahasa dan budaya
- Wabup Tanjab Barat Inspektur Upacara Pembukaan Kegiatan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-124 tahun 2025
- Wabup Katamso Hadiri Kegiatan Kunjungan Kerja Kapolda Jambi
- Gubernur Al Haris Dikukuhkan Sebagai Anggota Kehormatan PPAD Provinsi Jambi
- Pacu Inklusi Keuangan Dukung Asta Cita, OJK Luncurkan Indeks Akses Keuangan Daerah (IKAD)
- Gubernur Al Haris: PLTA Kerinci Segera Beroperasi, Tunggu Peresmian dari Presiden
- Gubernur Al Haris: Pemprov dan Pemkab Bersinergi Benahi Sistem Pertanian Agar Hasil Meningkat
- Pertisun Perdana di Kerinci, Gubernur Al Haris Bawa Pejabat Turun Langsung ke Dusun Serap Aspirasi Warga
- Gubernur Al Haris: Pertisun Bertujuan Agar Kita Mengetahui Kondisi Masyarakat Yang Sebenarnya
- Hadapi Tantangan Ekonomi dan Industri XL Axiata Berhasil Lalui Kuartal Pertama 2025 dengan Pencapaian Kinerja Positif
Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi di Jambi Demo Tolak RUU Penyiaran

Keterangan Gambar : Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi di Jambi Demo Tolak RUU Penyiaran
Mediajambi.com - Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi terdiri
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jambi, Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI) Jambi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi, Rambu House,
komunitas pers mahasiswa, aktivis, seniman, dan masyarakat umum melakukan demo
menolak Rancangan Undang-undang (RUU) penyiaran yang dikeluarkan pada Maret
2024 lalu, Senin (27/5)2024) di Gedung DPRD Provinsi Jambi.
Para jurnalis yang tergabung dalam koalisi penyelamat pilar
demokrasi ini silih berganti melakukan orasi di halaman gedung DPRD. Tidak
hanya berorasi, mereka ‘menegakkan’ sejumlah spanduk berisikan kalimat
tuntutan, protes, kritikan, dan pernyataan dampak buruk RUU Penyiaran. Misalnya
“Jangan Larang Liputan Investigasi Eksklusif”, “Tindakan Aparat Brutal
Pembungkaman UU Pers”, hingga “Kembali ke UU No. 40/1999”.
Koalisi ini menilai RUU Penyiaran merupakan ancaman
kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Hak masyarakat mendapatkan informasi
terkikis bila RUU Penyiaran rampung dan disahkan sebagai undang-undang.
Pemerintah dan dewan perwakilan rakyat, melalui RUU
Penyiaran, mewujudkan kendali berlebih (overcontrolling) terhadap ruang gerak
warga negaranya. Ini mengkhianati semangat demokratis yang terwujud melalui
Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers; undang-undang yang dibuat untuk
melindungi kerja-kerja jurnalistik serta menjamin pemenuhan hak publik atas
informasi.
Pada Pasal 50B Ayat 2 RUU Penyiaran, terdapat larangan
penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Larangan ini menunjukkan
ketakutan terbongkarnya permasalahan yang penting untuk diketahui publik.
Tidak hanya itu, larangan ini juga merupakan bentuk
keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan. Alih-alih memanfaatkan produk
jurnalistik investigasi eksklusif untuk mengatasi persoalan negara, kanal
informasi ini malah dilarang.
“Simbol kemunduran
kemerdekaan pers karena berusaha membungkam pers melalui RUU Penyiaran.
Padahal, karya jurnalistik investigasi merupakan karya tertinggi bagi seorang
jurnalis," kata Ketua IJTI Pengda Jambi Adrianus Susandra.
Tidak hanya itu, kata Adrianus, masih ada beberapa pasal
kontroversial yang mengancam kebebasan pers dan menghalangi tugas jurnalistik.
"Kami memandang pasal yang multi-tafsir dan
membingungkan ini menjadi alat kekuasaan untuk membungkam pers dan mengancam
kemerdekaan pers,” katanya.
Ketua PFI Jambi Irma mengatakan pada Pasal 50B Ayat 2 Huruf
K yang berbunyi “larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang
mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik,”
berpotensi membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers.
Pasal ini juga terkesan rancu sehingga dapat menimbulkan
multitafsir. “Karena itu, kami mendesak agar pasal-pasal ‘nakal’ ini segera
dihapuskan. Draf revisi ini juga menetapkan kewajiban sensor untuk seluruh isi
siaran. Ini bertentangan dengan UU Pers karena seharusnya siaran jurnalistik
tidak dikenai sensor,” ujar Irma.
Sejumlah pasal dalam draf itu juga berpotensi menciptakan
tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan
Pers. Pasal 8 Ayat 1 disebutkan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa
jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Pasal ini bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya yang berkaitan dengan
fungsi Dewan Pers.
“Kami khawatir, Komisi
I DPR merancang draf ini demi mengutamakan kepentingan pemodal, dengan
mengabaikan kepentingan publik. Karena itu, kita harus menolaknya sebelum
penyusunan draf dinyatakan tuntas,” kata Irma.
Ketua AJI Jambi Suwandi alias Wendi mewanti-wanti KPI menjadi
lembaga powerfull yang dapat membatasi kebebasan berekspresi, membatasi hak
publik untuk mendapatkan informasi, hingga dapat melakukan kriminalisasi.
Apalagi perekrutan komisioner KPI tingkat pusat dan daerah rawan disusupi
partai politik dan kelompok ‘jahat’ yang mengabaikan hak publik.
“Sengketa pers yang
akan ditangani KPI bertentangan dengan UU Pers dan dapat digunakan penguasa
otoritarianisme untuk membungkam kritik. Artinya, semakin banyak jurnalis yang
akan dipenjara karena berita,” katanya.
Ia pun mengatakan RUU Penyiaran seharusnya dirancang dengan
partisipasi publik. Namun, Komisi I DPR malah merancang RUU Penyiaran dengan
tidak berpijak pada asas kepentingan publik atau masyarakat umum.
“RUU Penyiaran tidak
akan mendapat penolakan dari banyak pihak, apabila prosesnya dilakukan dengan
benar yakni memberi ruang partisipasi publik. Tentu jika ingin mengatur karya
jurnalistik harus melibatkan organisasi jurnalis dan dewan pers serta
aktivis-aktivis yang konsen pada isu HAM, kebebasan ekspresi, perempuan, anak
dan kelompok minoritas,” katanya.
Tidak hanya para jurnalis, masyarakat umum pun resah dengan
draf RUU Penyiaran. Mereka khawatir banyak informasi penting yang tidak bisa
dijangkau publik imbas larangan jurnalisme investigasi. Padahal, berbagai kasus
dan kejahatan terbongkar di tengah masyarakat karena jurnalisme investigasi dan
kebebasan pers.
Ismet Raja, mengatakan masyarakat non-jurnalis juga harus
menyuarakan penolakan RUU Penyiaran. Ia khawatir bila RUU Penyiaran itu rampung
dan disahkan, dapat menjadi instrumen negara untuk melakukan
kriminalisasi.
“Gaung penolakan atas
Rancangan Undang-undang Penyiaran semakin meluas. Sebab itu, kita harus sangat
merespons kejanggalan undang-undang yang diatur negara yang akan
mengkriminalisasi hak-hak siar sebagai kita umat manusia. Aladabu powko ilmi
(adab itu lebih tinggi dari pada ilmu),” kata aktivis sekaligus musisi dari
Rambu House.
Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, Koalisi
Penyelamat Pilar Demokrasi menyerukan dan menuntut:
Penolakan dengan tegas draf RUU Penyiaran versi Maret 2024. Menyerukan pemerintah pusat dan DPR berhenti
membungkam pers atau mengikis hak masyarakat mendapatkan informasi.
Mendesak DPR mengkaji dan merancang ulang RUU Penyiaran
dengan mementingkan asas kebebasan pers dan kepentingan masyarakat, serta tidak
mengkhianati Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Mendesak DPR menghapus pasal-pasal problematik yang
berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.
"DPR harus melibatkan masyarakat, organisasi jurnalis,
dan Dewan Pers dalam perancangan RUU Penyiaran," tandasnya.***