- Pacu Inklusi Keuangan Dukung Asta Cita, OJK Luncurkan Indeks Akses Keuangan Daerah (IKAD)
- Gubernur Al Haris: PLTA Kerinci Segera Beroperasi, Tunggu Peresmian dari Presiden
- Gubernur Al Haris: Pemprov dan Pemkab Bersinergi Benahi Sistem Pertanian Agar Hasil Meningkat
- Pertisun Perdana di Kerinci, Gubernur Al Haris Bawa Pejabat Turun Langsung ke Dusun Serap Aspirasi Warga
- Gubernur Al Haris: Pertisun Bertujuan Agar Kita Mengetahui Kondisi Masyarakat Yang Sebenarnya
- Hadapi Tantangan Ekonomi dan Industri XL Axiata Berhasil Lalui Kuartal Pertama 2025 dengan Pencapaian Kinerja Positif
- DPRD dan YLKI Desak Revisi Perwal 61/2018, Soroti Beban Biaya Kantong Plastik pada Konsumen
- Wakil Walikota Jambi Jadi Narasumber Seminar Nasional Ekonomi Digital di Universitas Jambi
- Semarak O2SN dan FLS3N 2025 Kota Jambi : Wujudkan Generasi Berprestasi dan Berkarakter
- Pererat Silaturahmi dan Sinergitas, Kasat Lantas Polresta AKP Hadi Siswanto Kunjungi Kantor Jasa Raharja Jambi
Mengintip Potensi Pengembangan Energi Terbarukan di Provinsi Jambi

Keterangan Gambar : Kantor Dinas ESDM Provinsi Jambi salah satu perkantoran yang telah menggunakan panel surya, bisa menghemat tagihan listrik hingga 50 persen. f-mas
Mediajambi.com – Nampaknya ketergantungan terhadap
penggunaan pembangkit energi fosil masih
belum bisa ditinggalkan. Berdasarkan data Dinas Energi Sumber Daya Mineral
(ESDM) Provinsi Jambi pembangkit listrik tenaga energi terbarukan baru mencapai
15,29 persen. Artinya 84,71 persen masih menggunakan energi fosil.
Walau demikian Pemerintah Provinsi Jambi optimis sumber
energi listrik terbarukan dapat mencapai target. Bahkan hingga 2025 mendatang
bisa mencapai 24 persen, jika PLTA Kerinci Merangin telah berfungsi secara
maksimal. “Saat ini penggunaan pembangkit listrik terbarukan di Provinsi Jambi Hidro/air
1,1MW, Bioenergi 36,2 MW dan tenaga surya
0,68 persen. Suatu saat nanti bila telah tiba waktunya energi fosil akan
tergantikan dengan energi terbarukan,” ujar Kepala Bidang Energi Dinas ESDM
Provinsi Jambi S Pandu Hartadita kepada Mediajambi.com.
Dia mencontohkan dulu masyarakat manggunakan minyak tanah
sebagai bahan bakar untuk memasak, kini telah menggunakan kompor gas dan kompor
listrik. Begitu juga halnya penggunaaan bahan bakar kendaraan bermotor yang
sebelumnya menggunakan bensin kini dipaksa memakai pertalite. Itupun akan
terjadi pada energi terbarukan, karena lambat laun energi fosil yang berasal
dari minyak dan batubara akan habis dan digantikan dengan energi
terbarukan.
Pihaknya juga mendorong sejumlah instansi dilingkup Pemprov
Jambi menjadi pilot projek dalam penggunaan pembangkit listrik terbarukan.
“Saat Dinas ESDM telah menggunakan, Bapeda dan beberapa instansi lainnya,”
ucapnya.
Provinsi Jambi memiliki potensi yang sangat besar dalam
pengembangan energi terbarukan. Potensi ini bisa dipetakan berdasar wilayah.
Seperti energi pembangkit Geothermal, Hidro dan Bioenergi terdapat di wilayah
bagian barat. Sedangkan energi penel surya, bayu terdapat di wilayah bagian
timur. Namun demikian panel surya memiliki peluang yang sangat besar untuk
dikembangkan, mengingat Provinsi Jambi berada di daerah khatulistiwa.
“Kita punya terget hingga tahun 2050 penggunaan energi
terbarukan ini bisa mencapai 40 persen. Sisanya 60 persen masih menggunakan
energi fosil yaitu sumber energi dari batubara sebesar 29 persen, minyak 22
persen dan gas 9 persen,” ungkap dia.
Pemerintah daerah akan
berkolaborasi dengan pemerintah pusat dalam pengembangan energi terbarukan
berupa Program Energi Surya
Nusantara, Program
nasional EBT untuk daerah-daerah yang belum berlistrik:
Program percepatan
pengembangan EBT skala besar, termasuk solar farm, wind farm, PLTA, dan PLTP,
Program nasional agro-energy
untuk percepatan pengembangan bioenergy (biomasa), Program nasional pariwisata bersih dan hijau berbasis EBT, Program nasional klaster ekonomi
berbasis sumber daya setempat, Pengembangan Klaster PLTS / PLT Hybrid untuk Ekonomi berbasis sumber
daya setempat, Pengembangan
PLTS di lahan-lahan pertanian dan perikanan, Program nasional “smart and green building” dan
“smart and green island”, Program nasional sinergi Kementerian/Lembaga untuk pengembangan industry
EBT.
Selanjutnya Pemerintah
Provinsi Jambi telah mengambil langkah-langkah yaitu Program Pengelolaan Energi Terbarukan. Pengembangan Penyediaan Bahan Baku
Biogas dan Biomasa, Pengembangan
Penyediaan Biogas dan Biomasa, Pemanfaatan Aneka Energi Terbarukan; dan Konservasi Energi.
Program Bantuan Sosial
Terintegrasi untuk Dapur dan Penerangan Rumah Tangga(Boenda) yang telah
dilakukan sejak tahun 2021. “Dibeberapa
daerah terpencil yang belum dialiri PLN telah di pasang panel surya dan ada
juga yang memanfaatkan tenaga hidro yang dikelola oleh masyarakat setempat.
Seperti di daerah Merangin tepat di Desa
Air Liki yang hingga saat ini belum dialiri listrik dari PLN.
Dalam pengembangan EBT
baik lokal maupun nasional masih ada berbagai tantangan yang harus dihadapai
pemerintah. Pemprov Jambi telah membuat peta tantangan dan solusi peningkatan
pemanfaatan energi terbarukan.
Tantangan yang dihadapi
pemerintah daerah dalam pengembangan EBT yaitu Keterbatasan sumber-sumber pendanaan; Keterbatasan
Sumber Daya Manusia energi terbarukan; Keterbatasan Informasi tentang
Pengembangan Energi Terbarukan bagi sektor Pengguna Energi.
“APBD tidak mencukupi untuk pembelian peralatan yang
dinilai cukup mahal, belum lagi jika pelaralatan itu rusak juga belum memiliki
teknisi yang handal. Apalagi jika konsumen yang berada di wilayah terpencil dan
sangat jauh untuk ke kota. Dampaknya jika rusak maka akan terbengkalai, apalagi
sulitnya mendapatkan suku cadang,” ungkap S Pandu.
Pemerintah Provinsi
Jambi dalam hal ini telah melakukan sinkronisasi program daerah yang berkontribusi terhadap program-program
nasional di daerah; kolaborasi dengan multipihak dalam rangka
perumusan kebijakan pengembangan energi terbarukan di daerah; merumuskan
kebijakan yang menjadi stimulan proses “bottom-up” atau partisipasi masyarakat
dalam upaya pengembangan energi terbarukan; dan kolaborasi dengan multipihak dalam rangka
implementasi kebijakan pengembangan energi terbarukan.
“Kita juga telah
mengajak sejumlah instansi pemerintah dilingkup Pemprov Jambi untuk
memanfaatkan EBT. Kita sendiri di Dinas Energi Sumber Daya Mineral yang
menggunakan panel surya sebagai pilot projek. Terbukti dengan menafaatkan panel
surya tagihan PLN menurun lebih dari 50 persen,” ucapnya.
Masih Menjadi Dilema
Ketergantungan terhadap
energi fosil hingga saat ini masih belum bisa diatasi. Hal ini bisa dilihat
dibeberapa daerah terpencil di seperti di Desa Lubuk Beringin, kabupaten Bungo
yang dulunya menggunakan air sebagai pembangkit listrik yang dikelola oleh
masyarakat setempat.
Sejak aliran PLN
pembangkit tersebut terbengkalai dan tidak dipergunakan lagi. Begitu juga di
beberapa wlayah terpencil lainnya. Menurut warga biaya yang dikeluarkan untuk
pembangkit yang dikelola oleh masyarakat jauh lebih mahal ketimbang memakai
PLN.
“Dulu ya kami
menggunakan kincir air untuk menggerakan turbin yang hidup mulai dari jam 18.00
hingga 06.00 pagi. Tapi dengan masuknya PLN hidup 24 jam. Banyak kemudahan yang
diberikan PLN dengan listrik pintarnya, kita hanya beli token sesuai kebutuhan
tidak mengeluarkan biaya lainnya,” jelas Bujang (35) warga Lubuk Beringin via
ponselnya.
Bila dilihat dari sisi kepentingan ekonomi pihak Hulu Migas dalam beberapa pemberitaan terus berkomitmen
mencari cadangan minyak baik yang ada di darat maupun di laut lepas. Pihaknya
mengejar target satu juta barel minyak perharinya. Target nasional itu karena sumber
APBN terbesar dari sektor minyak dan gas.
Begitu juga halnya
dengan penambangan batubara izin ekplorasi terus bertambah, sejumlah kawasan
yang dulu merupakan lahan masyarakat dan hutan kini telah berubah menjadi danau
yang airnya mengandung zat beracun.
Dampak dari penambangan
batubara yang sebagian besar tidak direklamasi akan berdampak pada krisis ketahanan
pangan dan kerusakan ekosistem. Itulah dilema yang dihadapi dalam pengembangan
energi terbarukan.
Tetap Optimis
Staf Program Akses
Energi Berkelanjutan Institute For Essential Services Reporm (IESR) Icmi
Safitri mengatakan kenaikan suhu global memaksa secara global dan Indonesia
untuk beralih ke energi yang ramah lingkungan. Hal ini sesuai komitmen
Indonesia dalam Perjanjian Paris.
“Semakin kita abai
untuk bertransisi dari energi berbasis fosil, akan semakin besar kerugian dan
dampak yang akan dialami oleh Indonesia. Tansisi energi terbarukan akan
mengurangi efek rumah kaca yang dapat menstabilkan suhu bumi. Karena saat ini
suhu bumi mengalami kanaikan 1,1 persen. Kita berharap dukungan dari seluruh
pemangku kepentingan ikut berperan,” ucapnya.
Dampak yang terjadi
akibat naiknya suhu bumi, maka akan terjadi penguapan cukup tinggi curah hujan dengan
intensitas lebat berdampak banjir. Ketika musim kemarau terjadi kekeringan terganggunya ekosistem dan pertanian (krisis
pangan dampak jangka panjang). Selanjutnya naiknya permukaan laut ( tingginya
permukaan air laut) membuat migrasi penduduk tinggal diwilayah pesisir.
Kemudian cuaca saat ini
tidak bisa lagi diprediksi, dulu ada dua musim jika kemarau dan musim hujan. Biasanya
petani jauh-jauh hari sudah tahu kapan untuk bercocok tanam dan kapan membuka
lahan. Tapi kini prediksi itu tidak lagi berlaku, hal ini disebabkan makin menipisnya
lapisan ozon akibat suhu bumi terus meningkat. “Dampak dari pemanfaatan energi
fosil, juga mengakibatkan polusi udara dari asap kendaraan,” jelasnya.
Walau demikian dia mengakui
hingga saat ini energi fosil masih mendominasi, namun lambat laun akan
tergantikan oleh energi yang ramah lingkungan.
Dari hasil survey yang
dilakukan IESR beberapa hambatan dalam mengakselerasi transisi energi di Indonesia
antara lain dipengaruhi kepentingan ekonomi politik batubara sebagai pendapatan
pemerintah dan sumber energi domestik. Hambatan regulasi yaitu kurangnya koordinasi
antara lembaga pemerintah, ketidakpastian peraturan, dan perubahan peraturan
yang sering terjadi.
Selanjutnya pasar subsidi energi untuk bahan bakar fosil, tarif
listrik yang diatur, dan tarif energi terbarukan yang tidak menarik perhatian
dari pemerintah. Kemudian secara teknis kondisi geografis, kondisi oversupply,
dan kemampuan teknis yang terbatas. “Untuk transisi, penambahan kapasitas
pembangkit energi terbarukan harus disertai dengan penurunan kapasitas
pembangkit energi fosil yang saat ini masih sangat mendominasi,” ucapnya.
Namun demikian pihaknya
yakin transisi energi terbarukan sebelum tahun 2060 energi fosil sudah berakhir
dan digantikan dengan panel surya, bayu, biomasa dan hydro yang merupakan
energi terbarukan. “Potensi energi terbarukan Indonesia sangat masif, peluang
untuk mengamankan ketahanan energi jangka panjang,” ucapnya dalam sebuah
kutipan.
Pengunaan energi fosil
yang berasal dari batubara sangat berdampak pada masyarakat. Seperti terjadinya
kemacetan lalulintas, penyakit ispa bagi warga yang bermukim di sepanjang jalan yang dilalui angkutan batubara. Bahkan tak jarang terjadi kecelakaan yang menelan korban.(mas)