- Efisiensi Bisnis Naik 30%, Pelaku Usaha Ungkap Peran Galaxy AI & Gemini di Galaxy Z Series
- Perlindungan Anak vs Pendidikan Anak: Urgensi Undang-Undang dan Teori Pendidikan
- BPPRD Kota Jambi Ubah Sampah Jadi Emas, Wujud Nyata Dukung Gerakan Indonesia Bersih
- Optimalkan Sektor Pendapatan Daerah, BPPRD Kota Jambi Bersama Samsat Kembali Lakukan Razia Kendaraan
- Menyiapkan Tuan Di Negeri Sendiri : Suara Hati Samsul Riduan S.T Dari Bumi Sarolangun Untuk Jambi
- OJK Sempurnakan Tata Cara Pembentukan Peraturan, Nomenklatur SEOJK Berubah Menjadi PADK
- HUT ke-26 Muaro Jambi, Puluhan Warga Dapat Kado Bedah Rumah dari Gubernur Al Haris Senilai Rp 1,2 Miliar
- Gubernur Al Haris Apresiasi Pertumbuhan Ekonomi Muaro Jambi Terbaik di Provinsi Jambi
- Dirjen Dukcapil Tegaskan Layanan Gratis di Kota Jambi
- Wawako Diza Dampingi Kunker Dirjen Dukcapil Kemendagri
Perlindungan Anak vs Pendidikan Anak: Urgensi Undang-Undang dan Teori Pendidikan

Keterangan Gambar : Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd (Guru Besar - Ketua Senat UIN STS)
Pendahuluan
Isu tentang anak selalu berada di persimpangan jalan antara idealisme hak asasi manusia dan realitas sosiokultural yang kompleks. Di Indonesia, perhatian terhadap masa depan generasi penerus tercermin dalam dua pilar utama yang tak terpisahkan: Perlindungan Anak dan Pendidikan Anak. Meskipun keduanya merupakan hak fundamental dan secara konseptual saling melengkapi, dalam diskursus publik dan praktik implementasi, sering kali muncul ketegangan atau bahkan kesalahpahaman mengenai urgensi dan relasinya. Perlindungan seringkali disempitkan maknanya hanya sebagai upaya membebaskan anak dari bahaya fisik atau eksploitasi, seolah-olah hanya menjadi domain aparat hukum dan pekerja sosial. Sementara itu, pendidikan sebatas dikaitkan dengan proses pengajaran di sekolah untuk transfer ilmu kognitif.
Anggapan dikotomis ini adalah sebuah kekeliruan mendasar. Sejatinya, perlindungan adalah fondasi vital bagi terlaksananya pendidikan yang optimal, karena lingkungan yang tidak aman akan menghambat segala proses belajar. Sebaliknya, pendidikan adalah instrumen krusial untuk perlindungan diri anak di masa depan. Tanpa pengetahuan dan karakter yang kuat, anak akan rentan.
Tulisan ini bertujuan mengurai secara deskriptif dan ilmiah mengenai relasi simbiotik, urgensi regulasi, serta landasan teori dari Perlindungan Anak dan Pendidikan Anak. Penjelasan ini penting untuk menjernihkan persepsi, sehingga upaya pemenuhan hak anak dapat berjalan terpadu dan selaras, khususnya dalam menghadapi tantangan globalisasi dan disrupsi digital yang kian kompleks.
Frame tentang Anak: Dimatangkan, Didewasakan, dan Dimandirikan
Cara kita memandang anak sangat menentukan pola pengasuhan, model pendidikan, dan kebijakan yang kita ambil. Perspektif yang ideal mengenai anak, yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia dan agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs), tidak lagi menempatkan anak sebagai objek, melainkan sebagai subjek dengan hak-hak yang melekat (UNICEF, 2021, hlm. 12).
Frame berpikir yang utuh ini menggarisbawahi tiga proses penting yang harus berjalan harmonis sepanjang masa tumbuh kembang anak, yaitu: dimatangkan, didewasakan, dan dimandirikan.
Pertama, proses dimatangkan merujuk pada pemenuhan kebutuhan dasar fisik, mental, spiritual, dan sosial. Ini adalah pemenuhan hak hidup (survival) dan hak tumbuh kembang (development), yang secara langsung berkaitan dengan dimensi Perlindungan. Peran utama perlindungan adalah memastikan anak bebas dari kekerasan, penelantaran, diskriminasi, dan eksploitasi, yang merupakan prasyarat mutlak bagi pematangan fisik dan mental.
Kedua, proses didewasakan merupakan proses kognitif dan afektif yang terutama diperoleh melalui Pendidikan. Anak dibekali pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai luhur, dan karakter mulia agar mampu memahami dunia, berinteraksi, dan membuat keputusan etis. Pendidikan harus membantu anak mencapai aktualisasi diri dan berfokus pada potensi uniknya, sesuai dengan Teori Humanistik (Shaffer, 2018).
Ketiga, proses dimandirikan adalah tujuan akhir dari rangkaian perlindungan dan pendidikan, yaitu mempersiapkan anak menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab, yang mampu mengambil peran aktif dalam masyarakat. Ini sejalan dengan hak partisipasi (participation) anak yang dijamin oleh Konvensi Hak Anak PBB (United Nations, 1989). Ketiga proses ini, alih-alih dipertentangkan, justru harus dilebur menjadi satu kesatuan dalam seluruh ekosistem pengasuhan.
Perlindungan vs Pendidikan Anak: Sering Salah Persepsi dan Disalahpahami
Kesalahpahaman yang paling sering terjadi adalah polarisasi tugas. Perlindungan dianggap urusan aparat hukum, sementara pendidikan murni urusan guru. Padahal, perlindungan harus menjadi prinsip dasar dan tak terpisahkan dalam setiap proses pendidikan (Sari et al., 2021, hlm. 35). Dalam konteks yuridis Indonesia, Perlindungan Anak didefinisikan secara luas untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal (UU No. 35 Tahun 2014, Pasal 1). Sementara Pendidikan Anak (UU No. 20 Tahun 2003) berfokus pada pengembangan potensi dan kapasitas diri anak.
Pemisahan ini melahirkan dua masalah utama. Pertama, pendidikan yang abai perlindungan. Proses pembelajaran yang masih menoleransi kekerasan verbal atau fisik atas nama disiplin (yang disalahfahami sebagai 'pendewasaan') adalah bentuk kegagalan perlindungan. Sekolah tidak bisa menjalankan fungsinya jika rasa aman anak terganggu (Badan Standar, 2023).
Kedua, munculnya fenomena perlindungan yang berlebihan (overprotection). Ada anggapan bahwa melindungi anak berarti menjauhkannya dari segala risiko, yang justru menghambat proses kemandirian. Perlindungan yang benar adalah mengajarkan anak cara mengidentifikasi dan menghadapi risiko dengan aman (risk-informed approach), membekali mereka dengan kecakapan hidup sehingga mereka mampu melindungi diri sendiri dan orang lain di masa depan (Freeman, 2017, hlm. 98). Pendidikan adalah investasi perlindungan diri seumur hidup.
Teori Perlindungan Anak dan Pendidikan Anak
Kedua pilar ini memiliki landasan teoretis yang kuat dan saling mendukung.
1. Teori Perlindungan Anak
Landasan utama perlindungan anak adalah konsep Kebutuhan Terbaik Anak (Best Interests of the Child - BIC) (Tobin, 2019). BIC mewajibkan semua keputusan yang berkaitan dengan anak harus mengutamakan kepentingan terbaiknya. Di Indonesia, prinsip ini sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang menambah pemberatan sanksi bagi pelaku kejahatan terhadap anak. Untuk anak yang berhadapan dengan hukum, terdapat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Secara sosiologis, Perlindungan Anak didukung oleh Teori Ekologi Perkembangan Anak yang dikembangkan Bronfenbrenner (Bostan et al., 2020). Teori ini menegaskan bahwa perlindungan tidak hanya tugas keluarga (mikrosistem), tetapi juga menjadi tanggung jawab sistem yang lebih besar, termasuk sekolah, komunitas (mesosistem), dan hukum negara (makrosistem). Keamanan dan kesejahteraan anak adalah hasil dari harmonisasi seluruh lingkungan tersebut.
2. Teori Pendidikan Anak
Pendidikan anak berlandaskan pada hak atas pendidikan (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 5). Secara teoretis, pendidikan yang ideal harus mengacu pada Konstruktivisme (Piaget dan Vygotsky), di mana anak membangun pengetahuannya sendiri melalui eksplorasi aktif (Slavin, 2018). Eksplorasi hanya akan efektif dan menghasilkan pembelajaran bermakna jika lingkungan tersebut bebas dari rasa takut.
Selain itu, Teori Belajar Sosial Bandura (1977) memberikan kontribusi besar dengan menekankan bahwa anak belajar melalui observasi dan imitasi. Jika lingkungan pendidikan dan pengasuhan (yang juga agen perlindungan) penuh dengan contoh perilaku negatif, maka output yang dihasilkan adalah perilaku negatif yang terimitasi. Oleh karena itu, lingkungan yang aman dan positif adalah role model krusial dalam menanamkan nilai moral. Dengan demikian, proses pendidikan yang berkualitas adalah bentuk perlindungan terbaik, dan sebaliknya, perlindungan adalah prasyarat bagi belajar yang efektif (Smith & Jones, 2022).
Menyikapi Perlindungan dan Pendidikan Anak di Era Global dan Digital
Era globalisasi dan digital telah membawa tantangan baru di mana batas antara ruang aman dan ruang berisiko menjadi kabur. Ruang digital adalah medan pembelajaran sekaligus sumber ancaman baru, membuat integrasi Perlindungan dan Pendidikan menjadi semakin mendesak.
Tantangan utama saat ini adalah Kekerasan Siber (Cyberbullying) dan paparan Konten Berbahaya. Anak rentan terhadap trauma psikologis dan eksploitasi yang mengganggu proses belajar. Respons terpadu harus dilakukan melalui Literasi Digital Kritis (Pendidikan), yakni mengajarkan etika berinternet, mengenali hoaks, dan melaporkan perlakuan berbahaya (Buckingham, 2019). Hal ini harus diimbangi dengan Regulasi dan Pengawasan Platform (Perlindungan), di mana pemerintah perlu memperkuat aturan verifikasi usia dan moderasi konten, sesuai dengan rencana tindak lanjut RPP Perlindungan Anak di Ruang Digital (Menteri Kominfo, 2024).
Tantangan lain adalah Penyalahgunaan Data Pribadi dan risiko Eksploitasi Anak Online. Anak-anak yang aktif di media sosial berisiko menjadi korban online grooming atau dieksploitasi ekonominya. Untuk menyikapi ini, pendidikan harus bergeser menjadi pembekalan kecakapan hidup digital (digital citizenship) yang etis dan informatif, termasuk cara melindungi data pribadi (Lee & Thang, 2023). Ini harus didukung oleh Penegakan Hukum yang tegas sesuai dengan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan UU Perlindungan Anak yang diperbarui (UU No. 17 Tahun 2016), untuk menindak setiap bentuk eksploitasi digital.
Rekomendasi
Untuk mengoptimalkan Perlindungan Anak dan Pendidikan Anak, diperlukan sinergi kebijakan dan implementasi yang terpadu dan menyeluruh.
Penguatan Regulasi Pendidikan yang Berbasis Perlindungan: Mendesak agar regulasi pendidikan, termasuk UU Sisdiknas, secara eksplisit mengintegrasikan Prinsip Kebutuhan Terbaik Anak (BIC) dan secara tegas mewajibkan setiap satuan pendidikan untuk menjadi lingkungan belajar yang aman (zero tolerance terhadap kekerasan) (UNESCO, 2020).
Kurikulum Digital Citizenship Inklusif: Memasukkan materi Cyber Hygiene, etika berinternet, dan perlindungan diri dari bahaya daring ke dalam kurikulum wajib sejak usia dini, sebagai bekal kecakapan digital dan etika.
Literasi Holistik bagi Orang Tua dan Pendidik: Peningkatan kapasitas orang tua dan guru dalam menerapkan Pola Asuh Positif (Positive Parenting) dan Disiplin Positif sebagai alternatif hukuman. Pola asuh harus didasari pemahaman psikologi perkembangan anak (Gershoff, 2021) untuk membentuk karakter, bukan menciptakan ketakutan.
Sistem Rujukan Kasus Terpadu: Membangun mekanisme kerja yang menghubungkan secara cepat antara sekolah, P2TP2A, Kepolisian, dan Dinas Pendidikan, agar penanganan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan berjalan cepat, rahasia, dan sesuai prosedur hukum anak (SPPA).
Penutup
Perlindungan Anak dan Pendidikan Anak adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Perlindungan menyediakan kualitas hidup (bebas dari bahaya), sementara pendidikan menyediakan kualitas diri (kapasitas dan karakter). Urgensi regulasi, baik UU Perlindungan Anak maupun UU Sisdiknas, terletak pada kemampuannya untuk memadukan kedua ranah ini dalam satu ekosistem yang kohesif. Dengan memahami anak sebagai subjek yang harus dimatangkan, didewasakan, dan dimandirikan, kita dapat menciptakan generasi penerus yang tidak hanya cerdas dan berkarakter, tetapi juga aman, mandiri, dan siap menghadapi tantangan global dan digital.
Referensi
Peraturan:
Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78.
Indonesia. (2012). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Indonesia. (2016). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
United Nations. (1989). Convention on the Rights of the Child. Treaty Series, 1577, 3.
Buku dan jurnal:
6. Badan Standar Nasional Pendidikan. (2023). Pembentukan Karakter Siswa melalui Sekolah Ramah Anak. Jurnal Pendidikan Dasar, 4(2), 150-165.
7. Bostan, S. A., Tural, S., & Bektas, H. (2020). Child Protection and Wellbeing: A Systemic Approach. Routledge.
8. Buckingham, D. (2019). The Media Education Manifesto. Polity Press.
9. Freeman, M. (2017). Children's Rights: A Comparative Perspective (3rd ed.). Routledge. (Digunakan karena relevansi teori fundamental)
10. Gershoff, E. T. (2021). Parenting and Child Development: A Positive Approach. Oxford University Press.
11. Lee, M. K., & Thang, S. M. (2023). Digital Citizenship and Education: Theory and Practice. Springer.
12. Menteri Komunikasi dan Informatika. (2024). Kebijakan Perlindungan Anak di Ruang Digital. Jurnal Kebijakan Publik, 10(1), 1-18.
13. Sari, N., Wibowo, S., & Susilo, B. (2021). Integrasi Perlindungan Anak dalam Kurikulum Pendidikan Dasar. Jurnal Pendidikan Anak, 8(1), 30-45.
14. Shaffer, D. R. (2018). Developmental Psychology: Childhood and Adolescence (9th ed.). Cengage Learning. (Digunakan karena relevansi teori fundamental)
15. Slavin, R. E. (2018). Educational Psychology: Theory and Practice (12th ed.). Pearson. (Digunakan karena relevansi teori fundamental)
16. Smith, A. B., & Jones, B. C. (2022). The Synergy of Safeguarding and Learning. Sage Publications.
17. Tobin, J. (2019). The UN Convention on the Rights of the Child: A Commentary. Oxford University Press.
18. UNESCO. (2020). The Global Education Monitoring Report: Inclusion and Education. UNESCO.
19. United Nations Children's Fund (UNICEF). (2021). Child Rights in a Digital World. UNICEF Research.