Tantangan Media Kemas Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

By MS LEMPOW 06 Agu 2020, 09:08:46 WIB RAGAM
Tantangan Media Kemas Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Mediajambi.com - Pandemik virus corona atau COVID-19 meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan dan anak. Komisioner Komnas Perempuan (Pimpinan Transisi), Andi Yentriani mengungkapkan pihaknya telah memprediksi peningkatan kasus kekerasan pada masa pandemik ini.

"Komnas Perempuan mengkhawatirkan tiga hal, mempelajari tren global maka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akan berkembang, moda pembatasan sosial berskala besar (PSBB) memindahkan orang ke media daring maka terjadi kekerasan berbasis online, dan terjadi pelambanan ekonomi, pada proses ini maka kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat," katanya dalam Webinar Membingkai Pemberitaan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Era Pandemik COVID-19 yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).

 

Baca Lainnya :

1. Kondisi ekonomi mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga

Tantangan Media Kemas Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak    Andy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan/ Pimpinan Transisi (Tangkap Layar Facebook/IDN Times)

Andy mengungkapkan, hasil survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan terkait kondisi perempuan dalam rumah tangga saat pandemik virus corona ini, sebanyak 68 persen responden mengaku beban pekerjaan rumah tangga semakin banyak. Selain itu, perempuan juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga empat kali lipat dibandingkan laki-laki dengan durasi lebih dari 3 jam.“Perempuan menghadapi beban lebih besar termasuk mengampu pendidikan anak di dalam rumah,” kata Andy.

Kondisi ekonomi juga mempengaruhi potensi KDRT. Andy membeberkan dari survei tersebut juga diketahui bahwa 85 persen kekerasan dialami oleh perempuan berpenghasilan kurang dari Rp5 juta sejak masa pandemik COVID-19.

Selain itu, 87,5 persen responden lebih banyak mengalami kekerasan berasal dari keluarga yang pengeluarannya bertambah selama masa pandemik. Perempuan rentan mengalami kekerasan psikologis maupun ekonomi, termasuk anak perempuan. "Ketika mereka mengalami kekerasan tidak banyak korban yang akan melaporkan secara formal," ujar Andy.

Sebanyak 80,3 persen perempuan yang mengalami kekerasan tidak melaporkan kejadian yang dialaminya. Bahkan 77,5 persen dari yang tidak melaporkan itu berpendidikan sarjana dan pascasarjana. Sementara sisanya tidak melaporkan karena tidak tahu akan lapor kemana atau tak memiliki nomor kontak layanan pengaduan, juga masalah penguasaan teknologi, serta tak punya kuota.

Kejadian kekerasan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan dari Januari sampai Mei 2020 sebanyak 930 kasus, terutama kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan rumah tangga dan ranah komunitas. "Ada lonjakan kekerasan seksual berbasis online yang dilakukan mantan pacar, pacar, bahkan orang yang tidak dikenal," beber Andy.

 

2. Berita kekerasan terhadap perempuan dengan memperhatikan kebutuhan dan kerentanan khas perempuan Tantangan Media Kemas Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak    (Ilustrasi tindak kekerasan)

Media dalam membingkai pemberitaan kekerasan terhadap perempuan menurut Andy perlu lebih peka gender agar tak membuka ruang diskriminasi bagi perempuan. "Ketika jurnalis melakukan peliputan sangat penting untuk melihat pembedaan dalam masyarakat menimbulkan relasi yang timpang," katanya.

Ia menyarankan dalam menyajikan berita kekerasan terhadap perempuan media mesti memperhatikan Kode Etik Jurnalistik serta undang-undang yang berlaku selain itu juga melihat kebutuhan dan kerentanan khas perempuan. "Jika mau mengintegrasikan kita perlu melihat bukan saja kebutuhan khusus dan kerentanan khas tetapi juga penyikapan praktis dan strategis pada kebutuhan khusus dan kerentanan khas dan memastikan penguatan peran perempuan," ujar Andy.

 

3. Jurnalisme empati ramah anak

Tantangan Media Kemas Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak    Webinar Membingkai Pemberitaan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Era Pandemik COVID-19 (Tangkap Layar Facebook/IDN Times)

Sementara itu, mengenai pemberitaan masalah anak Rita Pranawati Wakil Ketua KPAI mengatakan, "Terkait dengan pemberitaan ada dua hal yaitu bagaimana media memberitakan dan bagaimana anak menerima informasi," katanya.

"Anak membutuhkan pendampingan. Karena banyak anak kita yang sumber informasinya dari media sosial," katanya.

Sementara untuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum media perlu mengemas dengan memperhatikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 5 yang berbunyi 'Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.'

"Anak tidak diwawancara, tetapi sekolah, temannya (diwawancara). Dampak pemberitaan anak pelaku yang dibuka identitasnya, ada satu kasus anak yang melihat  berita dirinya sendiri di rumah aman justru dia tidak mau pulang," jelasnya.

Ia melanjutkan, "Jurnalisme empati ramah anak menjadi penting. Perspektif kepentingan terbaik bagi anak menjadi penting, media memposisikan dirinya dalam posisi korban, dan tidak melakukan penghakiman pada korban dan keluarganya," kata Rita.

Selain itu, menurut Rita, media mesti mempertimbangkan dampak, mempertimbangkan efek visual, mempertimbangkan efek bagi lingkungan dan anak yang menonton, bahasa pun tidak bebas nilai khususnya pada khalayak anak.

 

4. Media melakukan framing dalam menyajikan berita kekerasan terhadap perempuan dan anak

Tantangan Media Kemas Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak    Webinar Membingkai Pemberitaan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Era Pandemik COVID-19 (Tangkap Layar Facebook/IDN Times)

Lia Anggia Nasution, Ketua FJPI Sumatra Utara mengatakan framing media merupakan cara pandang media atau wartawan terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ada fakta yang sengaja ditonjolkan dan ada yang dibuang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi framing media antara lain budaya patriarki, minimnya jurnalis perempuan dan perempuan pengambil kebijakan di media, kurang memahami pemberitaan ramah anak dan sensitif gender, media selama ini lebih mengejar clickbait/ iklan. "Pemberitaan tentang kekerasan anak dan perempuan kurang seksi atau kurang menjual," kata Anggia.

Ia menganjurkan di masa pandemik ini, jurnalis bisa mengangkat tentang perempuan dari sisi yang berbeda. "Jurnalis bisa lebih mengeksplor features tentang perempuan yang lebih menarik di samping memberitakan peristiwa dan data terutama di masa pandemik," ujar Anggia lebih lanjut.

Selain itu, dalam pemberitaan ia menganjurkan media tak lagi menyebut korban perkosaan sebagai korban melainkan penyintas, juga tidak mengganti namanya dengan sebutan lain yang justru semakin melemahkan posisi korban. "Tidak lagi menyebutkan korban perkosaan dengan Mawar, Melati tapi sebutkan saja akronim namanya," katanya.

Anggia menyarankan media perlu menghilangkan stereotype tentang perempuan, memberikan ruang lebih banyak kepada perempuan di dalam media, serta mematuhi aturan seperti UU Pers, KEJ, SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak), dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak serta Pemberitaan Ramah Gender.

 

5. Media perlu mengangkat isu perempuan dan anak yang rentan menjadi korban kekerasan dalam masa pandemik

Tantangan Media Kemas Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak    Uni Lubis, Editor in Chief IDN Times as Moderator at Launching World Economic Forum Youth Survey 2020 x IDN Times (IDN Times/Besse Fadhilah)

Sementara itu, Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia Uni Lubis dalam sambutannya mengatakan webinar ini merupakan satu dari empat rangkaian webinar dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional yang digelar FJPI dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Uni mengatakan tema terkait perempuan dan anak merupakan tema yang sangat penting.

" Tanggal 6 April, Sekjen PBB dan Direktur Eksekutif UN Women sudah mengingatkan pentingnya media dan warga dunia untuk memperhatikan bahwa pada saat itu, 90-an negara dan hampir separuh dari warga dunia dalam situasi lockdown di situlah muncul ancaman yang membahayakan bahkan mematikan bagi perempuan dan anak-anak yang berpotensi menjadi korban KDRT, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangannya," kata Uni.

Oleh karena itu, media seharusnya memberikan perhatian khusus terkait isu perempuan dan anak. "Media seharusnya meliput tidak hanya krisis kesehatannya saja, tetapi juga krisis ekonomi, dan krisis yang dialami oleh perempuan dan anak," kata Uni.

Sementara itu, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Indra Gunawan mengatakan media memegang peranan penting untuk mengangkat isu terkait perempuan dan anak. Ia juga mengingatkan, kekerasan terhadap perempuan justru seringkali terjadi di media. "Kita harus mengampanyekan dan mengubah pola-pola melihat berbagai isu perempuan dan anak. Menjadi perhatian kita bersama, peran media penting sebagai advocater dan melakukan edukasi," kata Indra. (****)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment